Perceraian
adalah suatu musibah dan bencana dalam sebuah rumah tangga jika dipergunakan
secara asal-asalan. Sebaliknya jika digunakan dengan bijak perceraian adalah
sebuah solusi yang penuh dengan kasih sayang tatkala seorang suami telah
kehabisan segala cara untuk berdamai dengan istri, atau setelah istri kehabisan
cara untuk berdamai dengan suaminya.
Sesungguhnya,
terjadinya perceraian dalam prosentase yang tinggi di tengah-tengah komunitas
kaum muslimin, atau penerapan yang keliru dalam kasus-kasus perceraian, tidak
sepantasnya dijadikan alasan untuk mencela disyariatkannya perceraian dalam
Islam. Karena perceraian sendiri adalah sebuah mashlahat (kebaikan) bagi sebuah
rumah tangga pada saat kehidupan berkeluarga mustahil untuk tetap
dipertahankan. Berubahnya kata-kata “cerai” sebagai permainan lisan sebagian
laki-laki, atau menjadikannya sebagai hiburan dan pereda emosi adalah seperti
penggunaan pisau. Jika pisau digunakan untuk mengupas atau membelah buah maka
ini adalah penggunaan yang tepat, sedangkan bila pisau tersebut digunakan untuk
menusuk orang maka ini adalah penggunaan yang tidak pada tempatnya. Apakah
dikarenakan ada orang yang mempergunakan pisau tidak pada tempatnya lalu kita
menyalahkan pisaunya?
Jika sepasang
suami istri sudah gagal dalam menjalani hidup rumah tangga dan tidak ada lagi
kestabilan dalam keluarga tersebut maka ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu
mempertahankan kehidupan rumah tangga meski tidak lagi ada rasa cinta di antara
keduanya, interaksi yang tidak menyenangkan, perpecahan dan pertikaian. Ataukah
berpisah dengan bercerai baik-baik sehingga masing-masing bisa mejalani hidup
sebagaimana yang dia inginkan.
Tidak diragukan
lagi bahwa mempertahankan kehidupan rumah tangga dalam suasana yang tidak harmonis
bukanlah solusi yang bijak, tidak sebagaimana persepsi sebagian orang yang
menganggap hal tersebut lebih baik daripada perceraian. Bahkan perceraianlah
solusi yang tepat, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan menyiksa diri
sendiri atau menyiksa orang lain dengan cara apapun. Tidak disangsikan lagi
bahwa hubungan yang tidak harmonis merupakan salah satu bentuk menyiksa pihak
lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan hakekat dan urgensi
perceraian ketika kehidupan rumah tangga tidak bisa lagi dipertahankan dalam
firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:
“Perceraian yang masih dapat dirujuk sebanyak dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang baik atau berpisah dengan cara yang baik pula.” (QS. al-Baqarah:229).
“Perceraian yang masih dapat dirujuk sebanyak dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang baik atau berpisah dengan cara yang baik pula.” (QS. al-Baqarah:229).
Perceraian
dalam Islam yang diatur dengan berbagai ketentuan syar’i yang ada hanyalah
digunakan sebagai solusi terakhir ketika mengembalikan kestabilan rumah tangga
dinilai sebagai suatu hal yang tidak lagi memungkinkan.
Masyarakat
barat yang melarang terjadinya perceraian dan menghina Islam karena membolehkan
perceraian dan menganggap perceraian itu sebagai hal yang bertentangan dengan
hak seorang wanita sudah mulai berpikir ulang. Mereka sudah membolehkan
terjadinya perceraian, suatu hal yang tabu selama berabad-abad lamanya. Mulailah
pintu perceraian dibuka lebar-lebar. Perceraian mereka laksanakan dengan
pemberkatan gereja atau dengan persetujuan undang-undang Negara yang tidak
terkait dengan otoritas gereja. Fakta dan angka perceraian yang sedemikian
mencengangkan terjadi, suatu hal yang menyerupai imajinasi semata. Seorang
pakar filsafat bernama Bernard Rossell dalam bukunya “Pernikahan dan Moralitas”
menyerukan agar perceraian diperbolehkan apapun resikonya. Dia mengatakan,
“Sesungguhnya Amerika telah mendapatkan solusi untuk permasalahan timbulnya
ketidaksukaan antara suami istri dengan membolehkan adanya perceraian. Karena
itu saya berharap agar Inggris mengikuti langkah Amerika dalam hal ini dengan
memperbolehkan terjadinya perceraian dalam ruang lingkup yang lebih luas daripada
kondisi saat ini yang sudah berlangsung.”
Perhatikanlah
orang-orang yang mencela ajaran Islam dan kaum muslimin karena permasalahan
perceraian yang disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah telah
menimpakan bencana yang besar atas mereka berkenaan dengan hubungan suami
istri. Pada akhirnya kondisi mereka mendorong untuk tidak mematuhi aturan
gereja yang mencela Islam dan kaum muslimin karena permasalahan ini. Masyarakat
barat lantas membuat undang-undang sipil yang membolehkan terjadinya perceraian
pada saat ada salah satu pihak yang menginginkan. Jadi terjadinya sekulerisasi
di dunia barat merupakan pukulan telak untuk orang-orang yang menghina Islam
dan kaum muslimin, serta pengakuan secara tidak langsung terhadap manfaat besar
dengan adanya aturan perceraian dalam Islam, disamping merupakan pernyataan
terus terang bahwasanya mereka adalah orang-orang yang tidak berilmu.
Berbagai
penelitian dan investigasi menunjukkan bahwa orang-orang barat pada saat ini
menggampangkan praktek perceraian sesudah perceraian dilegalkan oleh
undang-undang. Sampai-sampai penelitian di Prancis menunjukkan bahwa satu dari
tiga pasangan suami istri (pasutri) Prancis pada akhirnya bercerai dan satu
dari setiap pasutri Amerika, mereka bercerai. Lebih dari hal itu di sebagian
Negara Eropa prosentase perceraian sampai 70%.
Dalam Islam,
perceraian memiliki ketentuan-ketentuan khusus, syarat dan adab. Perceraian
bukanlah tempat untuk bermain-main, bahkan perceraian adalah satu syariat
bijaksana yang mengandung hikmah yang luar biasa. Oleh karena itu menganggap
perceraian sebagai alasan unuk melimpahkan berbagai tuduhan dan sebab timbulnya
berbagai masalah sosial adalah anggapan yang tidak beralasan. Perceraian sudah
pernah terjadi pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Terjadi pada Zaid
bin Haritsah dan Zainab binti Jahsy. Ada juga seorang wanita yang menghadap
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan minta kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam solusi agar berpisah dari suaminya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun
bersabda kepadanya, “Apakah engkau mau mengembalikan kebun yang menjadi mahar
suamimu?” Ia jawab, “Ya”. Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian bersabda
kepada sang suami, “Terima kembali kebun itu dan ceraikanlah istrimu.”
Kejadian-kejadian di atas bukanlah ajakan untuk melakukan perceraian akan
tetapi merupakan ajakan untuk mempergunakan perceraian secara tepat dan sesuai
dengan ketentuan-ketentuan hukum syar’i yang ada, sehingga diharapkan
perceraian tidak terjadi secara serampangan dan tanpa memahami kekeliruan yang
dilakukan banyak orang yang berkaitan dalam hal ini.
Praktek perceraian yang keliru
Kata-kata
“cerai” demikian mudah terluncur dari lisan banyak para suami. Sesungguhnya
perceraian bukanlah media untuk menghibur diri atau meredakan emosi sebagaimana
yang dilakukan oleh sebagian para suami. Mereka menjatuhkan cerai kepada
istrinya disebabkan perselisihan atau emosi. Saat emosi berkobar-kobar dan
tidak menemukan penenang selain kata-kata cerai atau ingin memaksakan pendapat
pada istri, atau untuk memaksa istri melakukan perbuatan yang diinginkan suami,
sebagian suami lantas mengucapkan kalimat cerai yang bersyarat. Misalnya
ucapan, “Jika engkau melakukan demikian, maka engkau kucerai!” Atau ucapan,
“Jika engkau pergi ke tempat ini maka engkau kucerai!” Sebagian orang
mempergunakan kata-kata cerai tidak pada tempatnya, padahal Allah Subhanahu wa
Ta’ala memberikan hak cerai pada suami untuk mengakhiri pernikahan pada saat
adanya kebutuhan, bukan karena mengikuti hawa nafsu atau karena terpancing
emosi.
Prosentase
perceraian yang tinggi di negeri kita merupakan bukti paling nyata adanya
penggunaan hak cerai tidak pada tempatnya. Sebagian kasus perceraian terjadi
karena masalah yang remeh dan sepele. Hal ini menunjukkan bahwa banyak suami
menganggap kata-kata cerai sebagai media untuk mengancam istrinya. Apakah bisa
diterima oleh akal sehat, seorang yang memutuskan ikatan yang kuat –yaitu
ikatan pernikahan– disebabkan semata-mata kesalahan yang sepele? Meluncurnya
kata-kata cerai karena permasalahan sepele merupakan bukti kurangnya rasa cinta
yang ada di antara pasutri tersebut. Banyak rumah tangga yang kondisinya tak
ubah sebagaimana rumah laba-laba yang mudah terkoyak disebabkan tiupan angin
yang tidak kuat sekalipun.
Sesungguhnya
Islam mewanti-wanti sikap meremehkan penggunaan kata-kata cerai. Perceraian
merupakan solusi terakhir ketika timbul perpecahan di antara pasutri, sesudah
berbagai upaya untuk mengharmoniskan kembali keduanya menemukan jalan buntu.
Bahkan Islam melarang keras seorang wanita yang meminta cerai tanpa alasan yang
kuat. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Setiap wanita yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti mengharamkannya untuk mendapatkan bau surga”.
“Setiap wanita yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti mengharamkannya untuk mendapatkan bau surga”.
Oleh karena itu
seorang istri berkewajiban untuk lebih memahami masalah ini dan lebih bersabar
dan lebih keras berusaha menjaga keberlangsungan hidup rumah tangga seberapapun
besar tebusannya.
Sesungguhnya
anggapan bahwa perceraian merupakan solusi yang ideal adalah kesalahan besar
yang dilakukan oleh banyak suami meskipun sesudah menikah untuk yang kedua
kalinya. Sesungguhnya cerai merupakan titik awal penyimpangan dan pintu jurang
kehancuran, karena perceraian itu menjadi faktor penyebab dekadensi moral, berbagai
penyakit kejiwaan serta berakibat terlantarnya anak-anak.
(Majalah Qiblati )
(Majalah Qiblati )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar