Kamis, 07 Februari 2013

TIGA NASEHAT DARI RASSULULLAH SAW



Rasulullah SAW pernah memberikan tiga buah nasehat kepada kedua sehabatnya Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu Abdurrahman bin Jabal: 

“Bertakwalah kamu kepada Allah dimanapun kamu berada, dan ikutilah kesalahanmu dengan kebaikan niscaya ia dapat menghapuskannya. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak terpuji.”
( HR. Tirmidzi )

Tiga pesan Rasulullah SAW tersebut layak untuk kita perhatikan karena sangat berkaitan erat dengan kehidupan kita sehari-hari.

1- BERTAQWA DIMANA SAJA

Definisi dari kata taqwa dapat dilihat dari percakapan antara sahabat Umar dan Ubay bin Ka’ab ra. Suatu ketika sahabat Umar ra bertanya kepada Ubay bin Ka’ab apakah taqwa itu? Dia menjawab; “Pernahkah kamu melalui jalan berduri?” Umar menjawab; “Pernah!” Ubay menyambung, “Lalu apa yang kamu lakukan?” Umar menjawab; “Aku berhati-hati, waspada dan penuh keseriusan.” Maka Ubay berkata; “Maka demikian pulalah taqwa!”

Sedang menurut Sayyid Qutub dalam tafsirnya—Fi Zhilal al-Qur`an—taqwa adalah kepekaan hati, kehalusan perasaan, rasa khawatir yang terus menerus dan hati-hati terhadap semua duri atau halangan dalam kehidupan.

Kalau ada suatu iklan minuman ringan: “Dimana saja dan kapan saja …”, maka nasehat Nabi SAW ini menunjukkan bahwa kita harus bertaqwa dimana saja. Sedang perintah taqwa kapan saja terdapat dalam surat Ali Imron 102:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”

Jadi dimanapun dan kapanpun kita harus menjaga ketaqwaan kita. Taqwa dimana saja memang sulit untuk dilakukan dan harus usaha yang dilakukan harus ekstra keras. Akan sangat mudah ketaqwaan itu diraih ketika kita bersama orang lain, tetapi bila tidak ada orang lain maka maksiyat dapat dilaksanakan. Sebagai contoh, ketika kita berkumpul di dalam suatu majelis zikir, pikiran dan pandangan kita akan terjaga dengan baik. Tetapi ketika kita berjalan sendirian di suatu tempat perbelanjaan, maka pikiran dan pandangan kita bisa tidak terjaga. Untuk menjaga ketaqwaan kita dimanapun saja, maka perlunya kita menyadari akan pengawasan Allah SWT baik secara langsung maupun melalui malaikat-Nya.

2 KEBAIKAN YANG MENGHAPUSKAN KESALAHAN

Setiap orang selalu melakukan kesalahan. Hari ini mungkin kita sudah melakukan kesalahan baik yang kita sadari maupun yang tidak kita sadari. Oleh sebab itu, segera setelah kita melaksanakan kesalahan, lakukan kebaikan. Kebaikan tersebut dapat menghapuskan kesalahan yang telah dilakukan.

Untuk dosa yang merugikan diri sendiri, maka salah satu cara untuk menghapusnya adalah dengan bersedekah. Rasulullah SAW bersabda “sedekah itu menghapus kesalahan sebagaimana air memadamkan api”. Maka ada orang yang ketika dia sakit maka dia akan memberikan sedekah agar penyakitnya segera sembuh. Hal ini dikarenakan segala penyakit yang kita miliki itu adalah karena kesalahan yang kita pernah lakukan.

Sedang dosa yang dilakukan terhadap orang lain maka yang perlu dilakukan adalah memohon maaf yang bagi beberapa orang sangat sulit untuk dilakukan. Padahal Rasulullah SAW selalu minta maaf ketika bersalah bahkan terhadap Ibnu Ummi Maktum beliau memeluknya dengan hangat seraya berkata “Inilah orangnya, yang membuat aku ditegur oleh Allah… (QS. Abasa)”. Setelah minta maaf kemudian bawalah sesuatu hadiah atau makanan kepada orang tersebut, maka kesalahan tersebut insya Allah akan dihapuskan.

3- AKHLAQ YANG TERPUJI

 Akhlaq terpuji adalah keharusan dari setiap muslim. Tidak memiliki akhlaq tersebut akan dapat mendekatkan seseorang dalam siksaan api neraka. Dari beberapa jenis akhlaq kita terhadap orang lain, yang perlu diperhatikan adalah akhlaq terhadap tetangga.

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan menyakiti tetangganya.”
 (HR. Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah)

Dari Abu Syuraih ra, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: “Demi Allah seseorang tidak beriman, Demi Allah seseorang tidak beriman, Demi Allah seseorang tidak beriman.” Ada yang bertanya: “Siapa itu Ya Rasulullah?” Jawab Nabi: “Yaitu orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya.” (HR. Bukhari)

Dari hadits tersebut, peringatan Allah sangat keras sampai diulangi tiga kali yaitu tidak termasuk golongan orang beriman bagi tetangganya yang tidak aman dari gangguannya. Maka terkadang kita perlu instropeksi dengan menanyakan kepada tetangga apakah kita mengganggu mereka.
Wallahua’lam bish showab.

Kamis, 17 Januari 2013

ISTRI – ISTRI AHLI SURGA




Dalam hal ini Allah swt. Telah menegaskan dalam Al-Qur’an,surat     Al Baqarah ayat 25 :
  
“Mereka ( ahli surga ) didalamnya ada istri – istri yang suci dan mereka kekal didalamnya’.

Firman-Nya dalam surat Ar Rahman, ayat 72 :

“(Yakni bidadari – bidadari ) yang cantik jelita , putih , bersih dipingit dalam rumah”.

Firman-Nya dalam surat Yaasiin, ayat 56 :

“mereka ( ahli surga ) dan istri – istri mereka berada didalam tempat yang teduh bertelekan diatas dipan-dipan”.

Dan firman-Nya didalam surat Ad Dukhan, ayat 54 :

“........dan Kami ( Allah SWT ) berikan kepada mereka bidadari “
Dengan menyimak penegasan Allah SWT. Diatas maka dapat diketahui, bahwa istri – istri yang diberikan allah kepada ahli surga itu ialah wanita yang cantik hati, cantik jelita, bersih dan istri – istri ahli surga itu tiada lain adalah sesosok bidadari, yang luar biasa cantinya dan saat di dunia belum pernah mereka melihat dan mendapatkannya.


CERAI DALAM ISLAM



Perceraian adalah suatu musibah dan bencana dalam sebuah rumah tangga jika dipergunakan secara asal-asalan. Sebaliknya jika digunakan dengan bijak perceraian adalah sebuah solusi yang penuh dengan kasih sayang tatkala seorang suami telah kehabisan segala cara untuk berdamai dengan istri, atau setelah istri kehabisan cara untuk berdamai dengan suaminya.
Sesungguhnya, terjadinya perceraian dalam prosentase yang tinggi di tengah-tengah komunitas kaum muslimin, atau penerapan yang keliru dalam kasus-kasus perceraian, tidak sepantasnya dijadikan alasan untuk mencela disyariatkannya perceraian dalam Islam. Karena perceraian sendiri adalah sebuah mashlahat (kebaikan) bagi sebuah rumah tangga pada saat kehidupan berkeluarga mustahil untuk tetap dipertahankan. Berubahnya kata-kata “cerai” sebagai permainan lisan sebagian laki-laki, atau menjadikannya sebagai hiburan dan pereda emosi adalah seperti penggunaan pisau. Jika pisau digunakan untuk mengupas atau membelah buah maka ini adalah penggunaan yang tepat, sedangkan bila pisau tersebut digunakan untuk menusuk orang maka ini adalah penggunaan yang tidak pada tempatnya. Apakah dikarenakan ada orang yang mempergunakan pisau tidak pada tempatnya lalu kita menyalahkan pisaunya?
Jika sepasang suami istri sudah gagal dalam menjalani hidup rumah tangga dan tidak ada lagi kestabilan dalam keluarga tersebut maka ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu mempertahankan kehidupan rumah tangga meski tidak lagi ada rasa cinta di antara keduanya, interaksi yang tidak menyenangkan, perpecahan dan pertikaian. Ataukah berpisah dengan bercerai baik-baik sehingga masing-masing bisa mejalani hidup sebagaimana yang dia inginkan.

Tidak diragukan lagi bahwa mempertahankan kehidupan rumah tangga dalam suasana yang tidak harmonis bukanlah solusi yang bijak, tidak sebagaimana persepsi sebagian orang yang menganggap hal tersebut lebih baik daripada perceraian. Bahkan perceraianlah solusi yang tepat, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan menyiksa diri sendiri atau menyiksa orang lain dengan cara apapun. Tidak disangsikan lagi bahwa hubungan yang tidak harmonis merupakan salah satu bentuk menyiksa pihak lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan hakekat dan urgensi perceraian ketika kehidupan rumah tangga tidak bisa lagi dipertahankan dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:

“Perceraian yang masih dapat dirujuk sebanyak dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang baik atau berpisah dengan cara yang baik pula.” (QS. al-Baqarah:229).
Perceraian dalam Islam yang diatur dengan berbagai ketentuan syar’i yang ada hanyalah digunakan sebagai solusi terakhir ketika mengembalikan kestabilan rumah tangga dinilai sebagai suatu hal yang tidak lagi memungkinkan.
Masyarakat barat yang melarang terjadinya perceraian dan menghina Islam karena membolehkan perceraian dan menganggap perceraian itu sebagai hal yang bertentangan dengan hak seorang wanita sudah mulai berpikir ulang. Mereka sudah membolehkan terjadinya perceraian, suatu hal yang tabu selama berabad-abad lamanya. Mulailah pintu perceraian dibuka lebar-lebar. Perceraian mereka laksanakan dengan pemberkatan gereja atau dengan persetujuan undang-undang Negara yang tidak terkait dengan otoritas gereja. Fakta dan angka perceraian yang sedemikian mencengangkan terjadi, suatu hal yang menyerupai imajinasi semata. Seorang pakar filsafat bernama Bernard Rossell dalam bukunya “Pernikahan dan Moralitas” menyerukan agar perceraian diperbolehkan apapun resikonya. Dia mengatakan, “Sesungguhnya Amerika telah mendapatkan solusi untuk permasalahan timbulnya ketidaksukaan antara suami istri dengan membolehkan adanya perceraian. Karena itu saya berharap agar Inggris mengikuti langkah Amerika dalam hal ini dengan memperbolehkan terjadinya perceraian dalam ruang lingkup yang lebih luas daripada kondisi saat ini yang sudah berlangsung.”
Perhatikanlah orang-orang yang mencela ajaran Islam dan kaum muslimin karena permasalahan perceraian yang disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah telah menimpakan bencana yang besar atas mereka berkenaan dengan hubungan suami istri. Pada akhirnya kondisi mereka mendorong untuk tidak mematuhi aturan gereja yang mencela Islam dan kaum muslimin karena permasalahan ini. Masyarakat barat lantas membuat undang-undang sipil yang membolehkan terjadinya perceraian pada saat ada salah satu pihak yang menginginkan. Jadi terjadinya sekulerisasi di dunia barat merupakan pukulan telak untuk orang-orang yang menghina Islam dan kaum muslimin, serta pengakuan secara tidak langsung terhadap manfaat besar dengan adanya aturan perceraian dalam Islam, disamping merupakan pernyataan terus terang bahwasanya mereka adalah orang-orang yang tidak berilmu.
Berbagai penelitian dan investigasi menunjukkan bahwa orang-orang barat pada saat ini menggampangkan praktek perceraian sesudah perceraian dilegalkan oleh undang-undang. Sampai-sampai penelitian di Prancis menunjukkan bahwa satu dari tiga pasangan suami istri (pasutri) Prancis pada akhirnya bercerai dan satu dari setiap pasutri Amerika, mereka bercerai. Lebih dari hal itu di sebagian Negara Eropa prosentase perceraian sampai 70%.
Dalam Islam, perceraian memiliki ketentuan-ketentuan khusus, syarat dan adab. Perceraian bukanlah tempat untuk bermain-main, bahkan perceraian adalah satu syariat bijaksana yang mengandung hikmah yang luar biasa. Oleh karena itu menganggap perceraian sebagai alasan unuk melimpahkan berbagai tuduhan dan sebab timbulnya berbagai masalah sosial adalah anggapan yang tidak beralasan. Perceraian sudah pernah terjadi pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Terjadi pada Zaid bin Haritsah dan Zainab binti Jahsy. Ada juga seorang wanita yang menghadap Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan minta kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam solusi agar berpisah dari suaminya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun bersabda kepadanya, “Apakah engkau mau mengembalikan kebun yang menjadi mahar suamimu?” Ia jawab, “Ya”. Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian bersabda kepada sang suami, “Terima kembali kebun itu dan ceraikanlah istrimu.” Kejadian-kejadian di atas bukanlah ajakan untuk melakukan perceraian akan tetapi merupakan ajakan untuk mempergunakan perceraian secara tepat dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum syar’i yang ada, sehingga diharapkan perceraian tidak terjadi secara serampangan dan tanpa memahami kekeliruan yang dilakukan banyak orang yang berkaitan dalam hal ini.
Praktek perceraian yang keliru
Kata-kata “cerai” demikian mudah terluncur dari lisan banyak para suami. Sesungguhnya perceraian bukanlah media untuk menghibur diri atau meredakan emosi sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian para suami. Mereka menjatuhkan cerai kepada istrinya disebabkan perselisihan atau emosi. Saat emosi berkobar-kobar dan tidak menemukan penenang selain kata-kata cerai atau ingin memaksakan pendapat pada istri, atau untuk memaksa istri melakukan perbuatan yang diinginkan suami, sebagian suami lantas mengucapkan kalimat cerai yang bersyarat. Misalnya ucapan, “Jika engkau melakukan demikian, maka engkau kucerai!” Atau ucapan, “Jika engkau pergi ke tempat ini maka engkau kucerai!” Sebagian orang mempergunakan kata-kata cerai tidak pada tempatnya, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hak cerai pada suami untuk mengakhiri pernikahan pada saat adanya kebutuhan, bukan karena mengikuti hawa nafsu atau karena terpancing emosi.
Prosentase perceraian yang tinggi di negeri kita merupakan bukti paling nyata adanya penggunaan hak cerai tidak pada tempatnya. Sebagian kasus perceraian terjadi karena masalah yang remeh dan sepele. Hal ini menunjukkan bahwa banyak suami menganggap kata-kata cerai sebagai media untuk mengancam istrinya. Apakah bisa diterima oleh akal sehat, seorang yang memutuskan ikatan yang kuat –yaitu ikatan pernikahan– disebabkan semata-mata kesalahan yang sepele? Meluncurnya kata-kata cerai karena permasalahan sepele merupakan bukti kurangnya rasa cinta yang ada di antara pasutri tersebut. Banyak rumah tangga yang kondisinya tak ubah sebagaimana rumah laba-laba yang mudah terkoyak disebabkan tiupan angin yang tidak kuat sekalipun.
Sesungguhnya Islam mewanti-wanti sikap meremehkan penggunaan kata-kata cerai. Perceraian merupakan solusi terakhir ketika timbul perpecahan di antara pasutri, sesudah berbagai upaya untuk mengharmoniskan kembali keduanya menemukan jalan buntu. Bahkan Islam melarang keras seorang wanita yang meminta cerai tanpa alasan yang kuat. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:



“Setiap wanita yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti mengharamkannya untuk mendapatkan bau surga”.


Oleh karena itu seorang istri berkewajiban untuk lebih memahami masalah ini dan lebih bersabar dan lebih keras berusaha menjaga keberlangsungan hidup rumah tangga seberapapun besar tebusannya.
Sesungguhnya anggapan bahwa perceraian merupakan solusi yang ideal adalah kesalahan besar yang dilakukan oleh banyak suami meskipun sesudah menikah untuk yang kedua kalinya. Sesungguhnya cerai merupakan titik awal penyimpangan dan pintu jurang kehancuran, karena perceraian itu menjadi faktor penyebab dekadensi moral, berbagai penyakit kejiwaan serta berakibat terlantarnya anak-anak.

(Majalah Qiblati )

BerTEMAN karena ALLAH SWT.




Jika engkau pada setiap perkara selalu mencela sahabat_mu…
Maka engkau tidak menemukan sahabat yang tidak kau cela...

فَعِشْ وَاحِدًا أَوْ صِلْ أَخَاكَ فَإِنَّهُ ...... مُقَارِفُ ذَنْبٍ مَرَّةً وَمُجَانِبُهُ
Jika demikian, maka hidup_Lah engkau sendirian…
Atau jalin_Lah persahabatan dengan saudaramu karena sesungguhnya ia terkadang melakukan kesalahan & terkadang menjauhi kesalahan...  Akhirnya..selamat menjalin persahabatan karena Allah, dan semoga Allah Subhanahu wa ta'aala mencintaimu karena persahabatan_mu..InsyaAllah Aamiin..

Ia juga berkata :

وَمَنْ ذَا الَّذِي تُرْضِي سَجَايَاهُ كُلُّهَا ...... كَفَى بِالْمَرْءِ نُبْلاَ أَنْ تُعَدَّ مَعَايِبُهُ
dan siapakah yang seluruh perangainya menyenangkan ( Orang lain )….??
Cukuplah seseorang dikatakan mulia jika aib_nya masih terhitung

Yg lain berkata :

تُرِيْدُ صَاحِبًا لاَ عَيْبَ فِيْهِ ..... فَهَلِ الْعُوْدُ يَفُوْحُ بِلاَ دُخَانِ؟
Engkau ingin memiliki seorang sahabat yang tidak ada kesalahannya sama sekali..??
Maka apakah kayu gaharu bisa mengeluarkan harum wanginya tanpa ada asapnya..??
Hendaknya kita bersabar dengan kesalahan sahabat kita dengan tetap berusaha menasehatinya

WANITA CANTIK ITU ... ?





J Istiqomah dengan hijabnya

J Tawakal dengan semua masalah yang di hadapinya

J Tersenyum dengan hati

J Ridho dengan ketentuan Robb-Nya

J Tabah menghadapi setiap ujian

J Sabar dengan manis pahitnya kehidupan

J Lembut dan bermakna dengan tutur katanya

J Ayu dengan Wudhunya

J Teguh pandangannya